English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 14 Januari 2011

Tujuh Langit Bukan Tujuh Lapis

Banyak orang di masa lalu, jauh sebelum Al-Qur'an diturunkan percaya bahwa langit berlapis tujuh. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang adanya tujuh benda langit utama dengan jarak yang berbeda-beda. Kesimpulan ini lahir dari pengamatan mereka atas gerakan benda-benda tersebut. Benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu mereka menggambarkan seolah-olah benda-benda tersebut berada pada lapisan langit yang berbeda-beda, mengelilingi Bumi yang berada di tengah-tengah. 


Di langit pertama ada Bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (Bintang Utarid). Venus (Bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (Bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (Bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (Bintang Siarah/Zuhal). Inilah keyakinan lama yang menganggap Bumi sebagai pusat alam semesta.

Orang-orang dahulu (khususnya Romawi dan Yunani) juga percaya bahwa ketujuh benda langit itu adalah dewa-dewa yang mempengaruhi kehidupan di Bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh (menurut pengetahuan mereka) yaitu Saturnus, sampai yang terdekat yakni Bulan. Pada jam 00.00, Saturnuslah yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Karena itu, hari pertama disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris, atau Sabtu dalam bahasa Indonesia. Ternyata, jika kita menghitung mundur hari sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.

Bila diurut selama 24 jam, jam 00.00 berikutnya jatuh pada Matahari. Jadilah hari itu sebagai hari Matahari (Sunday). Setelah Sun’s day  adalah Moon’s day (Monday). Hari berikutnya adalah Tiw’s day (Tuesday). Tiw adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewa Mars (dewa perang Romawi kuno). Berikutnya adalah Woden’s day (Wednesday). Woden adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewa Merkurius (dewa perdagangan Romawi kuno). Berikutnya lagi Thor’s day (Thursday). Thor adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewa Jupiter (dewa petir, raja para dewa Romawi). Terakhir adalah Freyja’s day (Friday). Freyja adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewi Venus (dewi kecantikan Romawi kuno).

Jumlah hari yang ada tujuh itu dipakai juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, ..., sampai tujuh, yakni ahad, itsnain, tsalatsah, arba'ah, khamsah, sittah, dan sab'ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus: Jum'at, sebab itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur'an, yang menunjukkan adanya kewajiban shalat Jum'at berjamaah.

Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis, Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, sehingga lebih menyukai pemakaian "Ahad" daripada "Minggu".

Tujuh langit dalam Isra’ & Mi’raj

Pemahaman tentang istilah ”tujuh langit” sebagai tujuh lapis langit dalam Islam, mungkin bukan sekadar pengaruh konsep geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi’raj Rasulullah SAW. Mi’raj adalah perjalanan dari Masjid Aqsha ke sidratul muntaha yang secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lain yang bisa memahaminya lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan seperti sidratul muntaha itu.

Secara sekilas kisah mi’raj di dalam hadits shahih sebagai berikut. Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit dunia. Di sana Beliau menjumpai Nabi Adam yang dikanannya berjejer ruh para ahli surga dan di kirinya ruh para ahli neraka. Perjalanan kemudian Beliau teruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya.

Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya Baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sana dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (batin) di surga, dan dua sungai fisik (dhahir) di dunia: Sungai Eufrat di Irak dan Sungai Nil di Mesir.

Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang indah. Hal ini dijelaskan pula dalam Al-Qur'an Surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.

Lapisan Langit: Dhahir atau Bathin?

Langit (samaa' atau samawat di dalam Al-Qur'an) secara astronomis berarti segala sesuatu yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit, sama sekali tidak dikenal dalam astronomi.

Ada yang berpendapat bahwa langit itu memang berlapis-lapis dengan berdalil pada QS Al-Mulk:3 dan Nuh:15 yang menyebutkan sab'a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag mengartikan kalimat itu sebagai "tujuh langit berlapis-lapis" atau "tujuh langit bertingkat-tingkat". Walaupun demikian, ini tidak berarti langit memang berlapis tujuh. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi dapat bermakna ”bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas yang lain.” Pengertian ini berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dll.

"Bertingkat-tingkat" berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak sebidang seperti titik-titik pada gambar di kertas.

Lalu apa makna ”tujuh langit” bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam Al-Qur'an ungkapan ”tujuh” atau ”tujuh puluh” sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam matematika kita mengenal istilah "tak berhingga" yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya, yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula makna ungkapan "tujuh" dalam beberapa ayat Al-Qur'an.

Misalnya, di dalam Q.S. Luqman:27 diungkapkan, ”Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah.” Istilah ”tujuh lautan” bukanlah menunjukkan jumlah eksak, sebab dengan delapan lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya.

Sama halnya dalam Q.S. At-Taubah:80: "..Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun.." Jelas, ungkapan "tujuh puluh" bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka meski kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali.

Jadi, ”tujuh langit” semestinya dipahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Bagaimana dengan makna langit pertama, ke dua, sampai ke tujuh dalam kisah mi’raj Rasulullah SAW? Muhammad Al-Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha (juga dari Mesir), berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah Isra’ & Mi’raj adalah langit gaib.

Dalam kisah mi’raj, peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa gaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitul Ma’mur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, saya sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit fisik yang berisi bintang-bintang, tetapi langit gaib.

Sumber : T. Djamaluddin
 

Selasa, 11 Januari 2011

Ikhlas Bersama Ruang dan Waktu

Sejarah ruang dan waktu tidak terlepas dari sejarah alam semesta. Ruang dan waktu terbentuk bersamaan dengan pembentukan alam semesta. Tidak ada ruang di luar alam semesta. Dan tidak ada waktu sebelum ada alam semesta. Namun, dalam kajian fisika definisi waktu telah disederhanakan, tidak tepat lagi dengan pemahamanan manusiawi. Kadang sulit difahami dengan nalar awam. 

Dalam kehidupan sehari-hari, pengalaman manusiawi terbagi dalam dua kelompok: Hal-hal yang objektif yang dapat dikenali dengan pancaindera tersebar dalam ruang. Sedangkan hal-hal subjektif (ide, pemikiran, kesadaran diri, emosi, dan sejenisnya) tersebar dalam waktu. Tidak dapat digambarkan dalam dunia nyata, tetapi mengungkapkan waktu masa lalu, sekarang, dan akan datang. Dalam fisika, waktu disederhanakan hanya apa yang tampak pada arloji atau pengukur waktu lainnya (misalnya, detak jantung, jumlah ayunan bandul, rotasi bumi, atau getaran atom).
 
Artikel ringkas ini sekilas mengulas sejarah alam semesta yang juga sejarah raung dan waktu. Dimulai dengan bahasa universal untuk memahami bagaimana alam bercerita tentang sejarah dirinya. Kemudian sekilas mengenal posisi kita – manusia – di alam semesta yang sebenarnya secara fisik tidak ada artinya dibandingkan dengan keluasan alam raya. Upaya memahami sejarah lahirnya alam semesta beserta evolusinya diulas dengan hasil-hasil sains terbaru diungkapkan secara ringkas mulai dari alam semesta secara keseluruhan sampai tata surya dan bumi. Juga diulas evolusi alam semesta dalam persepsi Al-Quran.

Walau tidak dibahas secara mendalam, ulasan tentang evolusi alam dimaksudkan juga untuk meluruskan antipati umat terhadap sains karena kontroversi yang bersumber dari analisis yang keliru. Evolusi (termasuk evolusi makhluk hidup) adalah keniscayaan di alam yang sering disalahartikan dan dirancukan banyak orang hingga banyak ditentang kaum agamawan yang tidak faham. Analisis sosiologis digunakan untuk membantah teori sains, suatu hal yang tidak tepat.

Teori relativitas telah menyatukan ruang dan waktu dalam dunia empat dimensi, dunia ruangwaktu (ditulis bersambung sebagai satu kata). Dan secara matematis dirumuskan kuadrat selang ruangwaktu = kuadrat selang waktu – kuadrat jarak ruang. Tanda minus berbeda dengan anggapan awam untuk ruang dan waktu (menggunakan "dan", ruang dan waktu sebagai hal yang terpisah) yang terbiasa dengan rumus phytagoras: kuadrat jarak = kuadrat selang sumbu x + kuadrat selang sumbu y.  Dalam dunia ruangwaktu, jarak bintang ke mata kita adalah "nol". Karena, misalnya, jarak bintang (jarak ruang) 4 tahun cahaya. Cahaya bintang tersebut mencapai mata kita dalam waktu 4 tahun juga (selang waktu). Jadi, selang/jarak ruangwaktu bintang tersebut adalah 0.
 
Dalam dunia ruang dan waktu (mengikuti hukum Newton, non-relativistik) senantiasa kita berjalan ke masadepan secara perlahan dengan kecepatan satu hari tiap harinya. Tetapi kita juga bisa berjalan ke masa depan dengan lebih cepat lagi ke tempat yang sangat jauh, misalkan dengan pesawat antariksa berkecepatan mendekati cahaya. Inilah perjalanan relativistik, mengikuti hukum relativitas. Dalam perjalanan relativistik, waktu berjalan relatif lebih lambat daripada waktu dalam keadaan berdiam tidak ikut dalam perjalanan. Hal ini sudah terbukti pada partikel berenergi tinggi. Waktu luruh (berubah menjadi partikel lainnya) partikel Muon sebenarnya dalam keadaan diam hanya sepersejuta detik. Namun dalam perjalanan dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, waktu luruhnya teramati oleh detektor yang diam bisa mencapai 50 kali lipat.  
 
Apa makna batiniah dari semua fakta fisik ini? Kita tidak bisa mundur ke masa lalu. Kita senantiasa maju menuju masa depan. Semakin cepat kita maju, semakin jauh jarak tempuh kita menuju masa depan. Kita tetap merasa muda pada saat  orang malas merasa tua. Kita senantiasa berubah, berevolusi dengan kerangka waktu yang jauh lebih pendek dari evolusi alam. Tentunya, evolusi yang kita harapkan adalah evolusi menuju perbaikan kualitas dan kuantitas. Kualitas iman yang makin mantap, kualitas pribadi yang makin mapan, kualitas hidup yang makin sejahtera, dan kualitas keluarga yang makin bahagia. Kuantitas ilmu yang makin bertambah, kuantitas amal yang makin meningkat, kuantitas rizki yang makin bermanfaat, dan kuantitas pengikut yang mendoakannya. Ruang amal kita semestinya berekspansi, meluas, dan makin variatif. Persahabatan dan jaringan kerja selayaknya terus bertambah. Ruang gerak kreatif-inovatif seharusnya makin terbuka.
 
Lalu apakah fisik jasmaniah dan batiniah kita dibiarkan berevolusi mengikuti alur perkembangan ruang dan waktu kita tanpa tuntunan? Semestinya tidak dibiarkan lepas tanpa kendali. Penyesatan dan pencemaran qalbu bisa mengubah sebagalanya keluar dari jalan yang diridhai-Nya. Taqarrub, pendekatan diri kepada-Nya adalah penuntunnya. Kebersihan jiwa yang ikhlas semestinya yang melandasi perjalanan ruang dan waktu kita. Ikhlas bermakna bersih dari segala pamrih selain dari mengharap ridha-Nya. 


T. Djamaluddin

Senin, 03 Januari 2011

Bumi Tanpa Negara

Batas-batas antar Negara seringkali menjadi masalah. Tulisan ini dibuat akibat berita-berita yang gencar soal perang hamas-israel, yang lebih sering disebut perang Palestina-Israel. Walaupun kabarnya palestina tidak sama dengan hamas atau sebaliknya. Katanya hamas hanya sebagian kecil penduduk palestina. Berita yang gencar dan sindrom pemihakan orang-orang membuat saya banyak merenung.

Kenapa agama memisahkan manusia? Bukankah agama itu jalan untuk mencari dan menemukan Tuhan? Kenapa manusia takut dipengaruhi agama lain? Kenapa agama harus dibela? Kalau betul agama itu jalan untuk menemukan Tuhan, bukankah justru agama itu harus diperbincangkan lebih banyak dan sering daripada perang? Bukankah justru kejam bila jalan menuju Tuhan tidak diberitakan, artinya sama dengan membiarkan manusia lain agama berjalan menuju neraka? Bukankah justru agama yang berbeda-beda harusnya mempersatukan manusia untuk saling berbagi dan bercerita mana jalan yang benar untuk menemukan Tuhan? Bukan mengasingkan, mengharamkan, menajiskan, atau menghindari pertemuan, pengaruh, atau perbincangan dengan agama lain.

Kalau memang banyak jalan ke surga, mengapa jalan agama-agama lain itu sangat bertolak belakang? Bukankah Tuhan cuman satu? Artinya tidak banyak jalan ke surga. Artinya ada jalan yang benar ada jalan yang salah. Artinya manusia harus saling bercerita, berdiskusi, berbagi tentang jalan itu, tanpa rasa takut dituduh menyesatkan atau memurtadkan manusia lainnya. Kalau manusia lain mengambil jalan yang salah, melenceng ke kiri atau ke kanan, bukankah seharusnya justru dirangkul, dikasihani, diberikan pengertian, diceritakan tanpa paksaan jalan mana yang sebetulnya benar? Bukankah Tuhan pun bahkan tidak pernah memaksa manusia untuk mengambil jalan yang mana? Bukankah kebebasan menentukan jalan sendiri adalah anugerah Tuhan bagi manusia yang sejati, yang punya kehendak tidak seperti mesin atau robot?

Dan kalau akibat agama, manusia berperang saling menghancurkan, bukankah itu bukti manusia salah memposisikan fungsi dan maksud agama sesungguhnya? Kalau memang sudah salah kenapa dilanjutkan? Kenapa menceritakan atau membagikan jalan untuk menemukan Tuhan menurut masing-masing agama itu dilarang atau dibatasi? Bukankah Surga itu milik Tuhan, bukan milik manusia apalagi agama?

Begitu juga bumi ini. Tuhan lah pemiliknya. Bukan manusia. Apa hak manusia untuk membatasi manusia lainnya menikmati sebagian tanah yang ada di bumi? Kenapa kekayaan di sebagian tanah di bumi ini hanya dinikmati oleh sebagian manusia yang tinggal di atas tanah tersebut? Bukankah tanah yang kaya itu milik Tuhan? Bukankah manusia tidak bisa berlomba atau bahkan memilih untuk lahir di tanah mana? Bukankah kekayaan bumi ini sudah Tuhan ciptakan cukup untuk dipelihara, dinikmati, diolah oleh semua manusia yang tinggal di bumi? Kenapa masih banyak manusia mati kelaparan di bumi ini? Kenapa manusia yang mati kelaparan di atas tanah yang miskin tidak dapat menikmati makanan yang dapat dihasilkan dari tanah yang kaya? Kenapa manusia yang hidup di atas tanah yang kaya merasa memiliki tanahnya itu lebih daripada manusia yang hidup di tanah yang lain? Bukankah bumi ini milik Tuhan? Bukan milik manusia?

Mengapa bumi ini dibagi-bagi oleh batas-batas negara? Mengapa tidak hanya ada satu negara saja: BUMI. Dan ada banyak kota: INDONESIA, AMERIKA, PALESTINA, ISRAEL, RUSIA, CHINA, IRAN, INDIA, KOREA, dan lain-lain. Mengapa pemeliharaan bumi tidak dikerjakan bersama-sama oleh semua manusia yang hidup di atas bumi ini? Mengapa manusia membagi bumi ini menjadi banyak negara? Mengapa tidak menciptakan BUMI tanpa NEGARA?

Kalau Esok Mati, Anda Bawa Apa ??

Mengapa ada kematian ?? Mungkin sobat blogger pernah mendengar pertanyaan tersebut. 

Kematian merupakan batas akhir manusia hidup di bumi ini dan bentuk lain dari kasih sayang Tuhan untuk hamba-hamba-Nya. Semua adalah endingnya, ada rampungnya. Yang semula cepat putarannya, perlahan melemah, tambah lemah dan berhenti. Semula muda, tua kemudian uzur. Yang rendah meninggi, tambah tinggi, memuncak, kemudian turun dan datar. Itulah kehidupan. Kita tidak diciptakan bagai anak panah yang lupa busurnya, terus melejit dan melesat, lepas bebas tanpa kendali yang akhirnya hilang tanpa pertanggung jawaban.

Diciptakannya sakit, kejenuhan, ketegangan, kesedihan, kebahagiaan adalah sebagai fase-fase kehidupan. Bahwa hidup ini adalah kelelahan-kelelahan. Sakit adalah masa istirahat dari sehat. Sehat adalah interval waktu untuk memahami betapa mahalnya harga kehati-hatian. Demikian juga kesedihan obatnya adalah kebahagiaan. Ketegangan disusul keceriaan dan seterusnya. Kita tidak ingin sehat terus atau bahagia terus. Terjebaknya Fir'aun pada kepemimpinanya yang zalim adalah karena rasa sakit yang tidak pernah menimpa dirinya seumur hidupnya. Ia lupa mati atau melupakan kematian. Bahkan hidup mati rakyat menjadi wewenang ditangannya. Nyawa masyarakat ada di genggamannya.

Sakit terus dapat menggiring pada sikap putus asa, putus harapan. Sementara bahagia yang tidak berkesudahan juga bisa mengantar kepada lupa diri, lupa asal muasal, yang berujung pada ketakaburan.

Disini kita dapat menyadari bahwa sedikitpun kita tidak punya daya dan kekuatan tanpa rekomendasi dari Allah. Kita menjalani hidup ini dengan kepasrahan-kepasrahan. Menyangkut kematian, kita bahkan telah sepakat untuk dijemput kapan saja. Namun kesibukan yang hampir tak berujung dan itu mewarnai hari-hari kita, telah menciptakan tabir yang begitu tebal dan jauh. Kita menjadi lupa hingga akhirnya, kata "mati" terasa begitu aneh. Ketersentakan baru muncul setelah hilang kerabat terdekat, orang yang paling dicintai atau teman yang paling akrab dalam hidup.

Setiap hari ada kematian, dan setiap hari ada berita tentangnya. Juga bincang-bincang mengenainya. Tapi lalu lintas berita dunia tidak kalah bisingnya. Bahkan, itu menjadi topik utama. Setiap hari ada kesibukkan, keramaian dan pertentangan. Setiap saat ada kemajuan dan perubahan warna-warna, karier, reputasi. Ada yang menanjak dan ada yang ambruk dan ada yang stress karenanya. Semuanya itu menjadi hijab-hijab tebal untuk mema'rifati kematian.

Padahal antrean panjang kematian mungkin tinggal besok saja lagi datangnya. Apakah kita sudah siap menyambut pisahnya ruh dan jasad? Wallahu a'lam

Bumi Matahari Bintang Yang Rapuh

Hari ini, entah kenapa langit tampak begitu hitam tanpa cela. Seperti ada tumpahan kopi yang begitu pekat. Terasa begitu pahit tanpa mengecapnya. Terasa begitu pilu mengingkari rindu. Malam menghisap rinduku, seperti blackhole yang membawa rinduku ke dimensi lain. Mungkin ke suatu dimensi ruang dan waktu yang begitu lalu, tempat dimana aku membuang jauh-jauh hatiku. Hati yang kubuang di masa lalu. Apakah kau merasa hal yang sama, ketika langit tanpa kelap-kelip bintang yang jauh lalu jatuh?

Entah apa yang membuat bumi terletak di sini, matahari sebagai bintang yang paling dekat dengannya, lalu bintang yang lain terletak begitu jauh darinya. Apakah itu semua karena takdir? Terasa getir, takdir seolah tak pernah adil. Kenapa bumi selalu menganggap matahari sebagai sumber cahanya? Tidak tahukah bumi, setitik bintang nan jauh di sana, begitu kuat berpijar, mencoba menembus ruang hampa, menyalurkan cahaya, hanya untuk bumi? Jarak. Sekuat apa pun setitik bintang itu berpijar, matahari mengalahkannya. Hanya karena jarak. Ya, karena jarak.

Keagungan matahari. Mencairkan musim dingin, meluluhkan salju, meniupkan angin kehangatan. Bumi haus dekapan matahari. Bumi menganggap, matahari tak pernah mengingkarinya. Bahkan saat malam, mengutus bulan untuk menyerap cahaya matahari, lalu menumpahkannya dalam langit malam, konon, hanya untuk bumi. Meski malam tanpa bintang, bumi tak peduli. Sungguh tak peduli.

Kelip lemah setitik bintang. Sekuat apa pun berpijar. Hangatnya temusnahkan hitungan tahun cahaya ruang hampa. Tangan-tangan bintang itu pun seperti janin terpapar thalidomide, tampak begitu pendek untuk menyentuh bumi, tak berdaya. Untuk sekian lamanya, setitik bintang itu terus-menerus berpijar, tak gentar oleh waktu yang menua, mencoba menjadi lilin malam. Terus menyinari sekecil apa pun, meski raganya harus meleleh. Terus menyinari sekecil apa pun, meski bumi telah memiliki matahari. Ironis.

Sang waktu membuka gerbang kematian. Meski enggan berhenti berpijar, setitik bintang itu melemah, tidak cintanya, hanya saja cahayanya. Takdir tak hanya mengendalikan jarak, tapi juga kehancuran. Setitik bintang berpijar untuk terakhir kalinya, tampak hanya sebagai kedipan tak berarti dari bumi. Perlahan bintang itu meledak, berteriak memusnahkan dirinya. Apakah bumi mendengar teriakan itu? Tidak. Jarak dan ruang hampa membuat bisu semua itu. Setitik bintang itu pun terjatuh dari lukisan langit malam. Yang tersisa, hanya pusaran debu tanpa cahaya. Setitik bintang yang hilang. Setitik bintang yang rapuh.

Kenapa dia harus menjadi matahari untukmu? Selalu di dekatmu. Kenapa kamu harus menjadi bumi untukku? Terlalu jauh untuk kusentuh. Lalu kenapa aku harus menjadi setitik bintang yang rapuh? Meski sekuat tenaga berpijar hanya untukmu. Takdir. Takdir meletakkan jarak dan siksaan. Entah kenapa hanya untukku.

Cara Olahraga yang Benar


Olahraga bila di lakukan dengan benar akan mebuat tubuh kita semakin fit dan sehat,tetapi bila di lakukan dengan sembarangan akan mengakibatkan cedera, nah tentu Anda ingin tahu cara olahraga yang benar bukan ?

Perhatikan hal hal berikut :
  • Sebelum berolahraga, yakinkan bahwa anda dalam keadaanSehat, cukup tidurpada malam harinya serta sudah makan atau sarapan bila melakukannya di pagi hari.
  • Waktu makan yang baik adalah 1,5 - 2 jam sebelum berolahraga misalnya apabila akan berolahraga pada jam 5 sore maka sempatkan waktu pada jam 14.30 atau jam 15.00 untuk menyantap makanan kecil seperti kue, roti, atau buah-buahan.